Sabtu, 01 Mei 2010

Penuntun pengemis

 

Namanya tidak asing bagi orang yang suka menghadiri pengajian atau khotbah jumat. Silmi Kaffah, gadis kecil yang berusia 4 tahunan. Di usia BALITA tidak menghalangi dirinya untuk membantu mencari penghasilan orang tuanya. Kedua orang tuanya adalah penyandang cacat mata yang berprofesi sebagai pemijat. Orang barangkali tidak menyangka gadis kecil cantik ini mempunyai orang tua yang keduanya buta. Silmi kecil berkulit putih menjadi penuntun orang tuanya menuju pasien pijat yang memerlukan jasa kedua orang tuanya.

Bang Amir, pertama kali berkenalan dengan keluarga ini beberapa hari lalu, ketika mereka pindah ke sekitar rumah. Angsuran rumah petak perbulan 300 ribu yang disewanya mengharuskan kedua orang tua Silmi ini mencari pelanggan pijat secepatnya.

Berangkat dari rasa ingin membantu keluarga ini, istri bang Amir yang baik hati menjadi pasien pijat yang pertama kali. Dari percakapan ringan dengan ibunya Silmi terungkaplah alasan kepindahan ke kontrakan rumah yang baru, yaitu karena pasien pijat di tempat yang lama sangat sepi. Di rumah kontrakan yang baru ini, harapan mendapatkan pasien yang lebih banyak adalah keinginan satu-satunya keluarga Silmi ini.

Rambut Silmi yang sedikit memerah mendorong istri bang Amir bertanya kepada ibunya, “Rambut Silmi kok merah ? apa disemir, bu?”, tanyanya.

Pertanyaan iseng sebenarnya, akan tetapi jawaban dari ibu Silmi inilah yang akan merubah alur cerita hubungan keluarga bang Amir dan keluarga Silmi kecil.

“Sebenarnya kalau pas pasien sepi, salah satu yang dapat menuntun dan membantu suami saya cuma Silmi ini ….”, jawab ibu Silmi dengan polos.

“Menuntun kemana, bu ?”, balas istri bang Amir.

“Menuntun suami saya meminta-minta menjadi pengemis di Terminal Cililitan”, jawabnya polos. Seperti tersambar petir di siang bolong, terlihat kekagetan di wajah istri bang Amir.

“Sebenarnya kami malu bu melakukan profesi sebagai pengemis, akan tetapi tidak ada cara lagi yang dapat kami lakukan selain itu…”, imbuhnya dengan wajah dan suara yang masih polos.

Jawaban yang polos dan apa adanya ini, membuat detak jantung istri bang Amir berdegup cepat. Kepolosan wujud kejujuran dan kepasrahan. Perasaan bersalah dan berdosa menyelimuti hati kecil istri bang Amir. Jadi rambut Silmi yang sedikit memerah ini karena panas terik di Terminal Cililitan sana, batin istri bang Amir. Ya Allah… betapa besar dosa-dosa hamba membiarkan mereka menderita, rintih istri bang Amir.

Percakapan ini disampaikan juga ke bang Amir. Istri bang Amir pun meminta kepada bang Amir agar mau dipijat oleh ayahnya Silmi. Agar target penghasilan mereka dapat memenuhi untuk membayar kontrakan bulan ini. Karena kalau hari itu tidak ada pasien pijat, maka ayah Silmi akan berangkat ke Terminal Cililitan menekuni “sambilan”-nya.

Bang Amir memang sedikit tidak nyaman kalau dipijat. Maka hobi pijat pun tidak ada dalam rangkaian jalan hidupnya. Pengalaman yang sudah-sudah, setelah dipijat biasanya badan tidak menjadi enak, malah terasa “cekot-cekot” karena terasa ngilu semua. Karena itu penawaran pijat biasanya ditolak dengan halus oleh bang Amir. Akan tetapi setelah mendengar penuturan cerita istrinya tentang keluarga Silmi, akhirnya bang Amir menerima tawaran istrinya.

Sore itu bel rumah terdengar, “Tetttttttttt ….Tetttttttt”, pertanda ada tamu yang datang. Di depan rumah muncul Silmi kecil menuntun bapaknya yang buta.

“Masya Allah, luar biasanya si Silmi kecil ini, malaikat kecil penuntun ayahnya,” batin bang Amir.

Anak seusianya mempunyai dunia yang pasti menyenangkan dengan sibuk berlari-lari dan bermain ayunan di taman kampung. Dari obrolan kecil di tengah pemijatan, ayah Silmi mengatakan bahwa karena suhu badan dengan panas yang tinggi, menyebabkan ketika kecil harus kehilangan kedua penglihatannya. Ada hal yang luar biasa dari seorang ayah yang buta ini, yaitu begitu sayangnya kepada si Silmi kecil. Ditegurnya dengan halus si Silmi kecil apabila melakukan hal-hal yang dilihatnya akan mengganggu suasana pemijatan.

Allah Maha Adil, batin bang Amir, kasih sayang seorang ayah kepada anaknya tidak Allah padamkan walaupun nikmat penglihatan itu dicabut-Nya. Subhanallah, sangat malunya orang yang dapat melihat dan mempunyai anak yang sehat tetapi tidak bersyukur kepada Rabb Yang Maha Tinggi.

Anak paling kecil bang Amir adalah Fathimah, seusia dengan Silmi kecil.

“Mi, lihatlah Fathimah dan Silmi ini …”, kata bang Amir kepada istrinya suatu ketika.

Sambil dipegang tangan kedua anak itu erat-erat, bang Amir melanjutkan kalimatnya.

“Mi, kedua anak ini sama…. sama-sama makhluk Allah… anak dari manusia… mereka mempunyai ayah dan ibu…. mempunyai tangan dan mata… hanya takdir Allah menentukan lain… yang satu di asuh oleh hamba-Nya yang lebih berkecukupan… dan yang satu di asuh oleh hamba-Nya yang berada dalam kekurangan…. kedua anak ini mi, bernasib beda… bajunya beda, sandalnya beda, tempat tinggalnya beda…”, ujar bang Amir dengan mimik serius.

Keheningan melingkupi suasana mereka berdua. Entah renungan apa yang muncul di benak bang Amir dan istrinya.

“Mi, kalau kecukupan ini adalah sebuah nikmat dan jalan kemudahan…. betapa Allah telah memuliakan kita ya mi…”, sambung bang Amir lirih.

Bang Amir pun teringat akan dirinya selama ini, betapa banyak nikmat Allah yang terkadang tidak sempat disyukurinya. Betapa banyak keluarga-keluarga seperti keluarga Silmi ini yang membutuhkan uluran pertolongan si mampu.

“Ah, seandainya mereka yang jauh nun di sana dapat bersatu saling membahu…. mungkin keluarga ini dapat lebih tertolong …”, batin bang Amir menutup keheningan malam.

Kesedihan bang Amir semakin terasa ketika mendengar bahwa  Silmi sekeluarga telah pindah ke kontrakan barunya, karena sepinya pelanggan pijat. Duh ! Ya Robbi.

Penuntun pengemis

 

Namanya tidak asing bagi orang yang suka menghadiri pengajian atau khotbah jumat. Silmi Kaffah, gadis kecil yang berusia 4 tahunan. Di usia BALITA tidak menghalangi dirinya untuk membantu mencari penghasilan orang tuanya. Kedua orang tuanya adalah penyandang cacat mata yang berprofesi sebagai pemijat. Orang barangkali tidak menyangka gadis kecil cantik ini mempunyai orang tua yang keduanya buta. Silmi kecil berkulit putih menjadi penuntun orang tuanya menuju pasien pijat yang memerlukan jasa kedua orang tuanya.

Bang Amir, pertama kali berkenalan dengan keluarga ini beberapa hari lalu, ketika mereka pindah ke sekitar rumah. Angsuran rumah petak perbulan 300 ribu yang disewanya mengharuskan kedua orang tua Silmi ini mencari pelanggan pijat secepatnya.

Berangkat dari rasa ingin membantu keluarga ini, istri bang Amir yang baik hati menjadi pasien pijat yang pertama kali. Dari percakapan ringan dengan ibunya Silmi terungkaplah alasan kepindahan ke kontrakan rumah yang baru, yaitu karena pasien pijat di tempat yang lama sangat sepi. Di rumah kontrakan yang baru ini, harapan mendapatkan pasien yang lebih banyak adalah keinginan satu-satunya keluarga Silmi ini.

Rambut Silmi yang sedikit memerah mendorong istri bang Amir bertanya kepada ibunya, “Rambut Silmi kok merah ? apa disemir, bu?”, tanyanya.

Pertanyaan iseng sebenarnya, akan tetapi jawaban dari ibu Silmi inilah yang akan merubah alur cerita hubungan keluarga bang Amir dan keluarga Silmi kecil.

“Sebenarnya kalau pas pasien sepi, salah satu yang dapat menuntun dan membantu suami saya cuma Silmi ini ….”, jawab ibu Silmi dengan polos.

“Menuntun kemana, bu ?”, balas istri bang Amir.

“Menuntun suami saya meminta-minta menjadi pengemis di Terminal Cililitan”, jawabnya polos. Seperti tersambar petir di siang bolong, terlihat kekagetan di wajah istri bang Amir.

“Sebenarnya kami malu bu melakukan profesi sebagai pengemis, akan tetapi tidak ada cara lagi yang dapat kami lakukan selain itu…”, imbuhnya dengan wajah dan suara yang masih polos.

Jawaban yang polos dan apa adanya ini, membuat detak jantung istri bang Amir berdegup cepat. Kepolosan wujud kejujuran dan kepasrahan. Perasaan bersalah dan berdosa menyelimuti hati kecil istri bang Amir. Jadi rambut Silmi yang sedikit memerah ini karena panas terik di Terminal Cililitan sana, batin istri bang Amir. Ya Allah… betapa besar dosa-dosa hamba membiarkan mereka menderita, rintih istri bang Amir.

Percakapan ini disampaikan juga ke bang Amir. Istri bang Amir pun meminta kepada bang Amir agar mau dipijat oleh ayahnya Silmi. Agar target penghasilan mereka dapat memenuhi untuk membayar kontrakan bulan ini. Karena kalau hari itu tidak ada pasien pijat, maka ayah Silmi akan berangkat ke Terminal Cililitan menekuni “sambilan”-nya.

Bang Amir memang sedikit tidak nyaman kalau dipijat. Maka hobi pijat pun tidak ada dalam rangkaian jalan hidupnya. Pengalaman yang sudah-sudah, setelah dipijat biasanya badan tidak menjadi enak, malah terasa “cekot-cekot” karena terasa ngilu semua. Karena itu penawaran pijat biasanya ditolak dengan halus oleh bang Amir. Akan tetapi setelah mendengar penuturan cerita istrinya tentang keluarga Silmi, akhirnya bang Amir menerima tawaran istrinya.

Sore itu bel rumah terdengar, “Tetttttttttt ….Tetttttttt”, pertanda ada tamu yang datang. Di depan rumah muncul Silmi kecil menuntun bapaknya yang buta.

“Masya Allah, luar biasanya si Silmi kecil ini, malaikat kecil penuntun ayahnya,” batin bang Amir.

Anak seusianya mempunyai dunia yang pasti menyenangkan dengan sibuk berlari-lari dan bermain ayunan di taman kampung. Dari obrolan kecil di tengah pemijatan, ayah Silmi mengatakan bahwa karena suhu badan dengan panas yang tinggi, menyebabkan ketika kecil harus kehilangan kedua penglihatannya. Ada hal yang luar biasa dari seorang ayah yang buta ini, yaitu begitu sayangnya kepada si Silmi kecil. Ditegurnya dengan halus si Silmi kecil apabila melakukan hal-hal yang dilihatnya akan mengganggu suasana pemijatan.

Allah Maha Adil, batin bang Amir, kasih sayang seorang ayah kepada anaknya tidak Allah padamkan walaupun nikmat penglihatan itu dicabut-Nya. Subhanallah, sangat malunya orang yang dapat melihat dan mempunyai anak yang sehat tetapi tidak bersyukur kepada Rabb Yang Maha Tinggi.

Anak paling kecil bang Amir adalah Fathimah, seusia dengan Silmi kecil.

“Mi, lihatlah Fathimah dan Silmi ini …”, kata bang Amir kepada istrinya suatu ketika.

Sambil dipegang tangan kedua anak itu erat-erat, bang Amir melanjutkan kalimatnya.

“Mi, kedua anak ini sama…. sama-sama makhluk Allah… anak dari manusia… mereka mempunyai ayah dan ibu…. mempunyai tangan dan mata… hanya takdir Allah menentukan lain… yang satu di asuh oleh hamba-Nya yang lebih berkecukupan… dan yang satu di asuh oleh hamba-Nya yang berada dalam kekurangan…. kedua anak ini mi, bernasib beda… bajunya beda, sandalnya beda, tempat tinggalnya beda…”, ujar bang Amir dengan mimik serius.

Keheningan melingkupi suasana mereka berdua. Entah renungan apa yang muncul di benak bang Amir dan istrinya.

“Mi, kalau kecukupan ini adalah sebuah nikmat dan jalan kemudahan…. betapa Allah telah memuliakan kita ya mi…”, sambung bang Amir lirih.

Bang Amir pun teringat akan dirinya selama ini, betapa banyak nikmat Allah yang terkadang tidak sempat disyukurinya. Betapa banyak keluarga-keluarga seperti keluarga Silmi ini yang membutuhkan uluran pertolongan si mampu.

“Ah, seandainya mereka yang jauh nun di sana dapat bersatu saling membahu…. mungkin keluarga ini dapat lebih tertolong …”, batin bang Amir menutup keheningan malam.

Kesedihan bang Amir semakin terasa ketika mendengar bahwa  Silmi sekeluarga telah pindah ke kontrakan barunya, karena sepinya pelanggan pijat. Duh ! Ya Robbi.

Jumat, 30 April 2010

Sisi baik pak Harto


"Memang setelah saya umumkan tentang adanya "Supersemar" itu, dipersoalkan orang,
apakah surat perintah itu hanya satu "instruksi" Presiden kepada saya,
ataukah satu "pemindahan kekuasan eksekutif yang terbatas?"
Menurut saya, perintah itu dikeluarkan di saat negara dalam keadaan gawat
di mana integritas Presiden, ABRI dan rakyat sedang berada dalam bahaya, s
edangkan keamanan, ketertiban dan pemerintahan berada dalam keadaan berantakan.
Seperti saya nyatakan di depan Radio dan TVRI di pertengahan Juni 1966,
saya tidak akan sering menggunakan Surat Perintah 11 Maret tersebut,
lebih-lebih kalau surat perintah itu belum diperlukan.
Mata pedang akan menjadi tumpul bila selalu digunakan.
Sebagai perbandingan saya kemukakan, segerombolan monyet yang menyerang
ladang jagung si Polan dapat diusir hanya dengan tepukan tangan penjaganya.
Oleh karena itu, tidaklah baik memobilisasi satu kompi kendaraan berlapis baja
cuma untuk mengusir segerombolan kera.
Lima tahun kemudian, untuk pertama kalinya saya jelaskan latar belakang dan sejarah
lahirnya "Supersemar" itu, karena rakyat Indonesia memang berhak mengetahuinya.
"Supersemar" merupakan bagian sejarah yang sangat penting untuk meluruskan
kembali perjuangan bangsa dalam mempertahankan cita-cita kemerdekaan
dan memberi isi pada kemerdekaan.
Berkenaan dengan ini, beberapa kali saya telah menolak prakarsa untuk memperingati
hari lahirnya "Supersemar" secara besar-besaran. Ini untuk menghindarkan timbulnya mitos terhadap peristiwa itu atau terhadap diri saya sendiri.
Saya tidak pernah menganggap "Supersemar" itu sebagai tujuan untuk memperoleh kekuasaan. Surat Perintah 11 Maret itu juga bukan merupakan alat untuk mengadakan
coup secara terselubung. "Supersemar" itu adalah awal perjuangan Orde Baru.

Sisi baik pak Harto


"Memang setelah saya umumkan tentang adanya "Supersemar" itu, dipersoalkan orang,
apakah surat perintah itu hanya satu "instruksi" Presiden kepada saya,
ataukah satu "pemindahan kekuasan eksekutif yang terbatas?"
Menurut saya, perintah itu dikeluarkan di saat negara dalam keadaan gawat
di mana integritas Presiden, ABRI dan rakyat sedang berada dalam bahaya, s
edangkan keamanan, ketertiban dan pemerintahan berada dalam keadaan berantakan.
Seperti saya nyatakan di depan Radio dan TVRI di pertengahan Juni 1966,
saya tidak akan sering menggunakan Surat Perintah 11 Maret tersebut,
lebih-lebih kalau surat perintah itu belum diperlukan.
Mata pedang akan menjadi tumpul bila selalu digunakan.
Sebagai perbandingan saya kemukakan, segerombolan monyet yang menyerang
ladang jagung si Polan dapat diusir hanya dengan tepukan tangan penjaganya.
Oleh karena itu, tidaklah baik memobilisasi satu kompi kendaraan berlapis baja
cuma untuk mengusir segerombolan kera.
Lima tahun kemudian, untuk pertama kalinya saya jelaskan latar belakang dan sejarah
lahirnya "Supersemar" itu, karena rakyat Indonesia memang berhak mengetahuinya.
"Supersemar" merupakan bagian sejarah yang sangat penting untuk meluruskan
kembali perjuangan bangsa dalam mempertahankan cita-cita kemerdekaan
dan memberi isi pada kemerdekaan.
Berkenaan dengan ini, beberapa kali saya telah menolak prakarsa untuk memperingati
hari lahirnya "Supersemar" secara besar-besaran. Ini untuk menghindarkan timbulnya mitos terhadap peristiwa itu atau terhadap diri saya sendiri.
Saya tidak pernah menganggap "Supersemar" itu sebagai tujuan untuk memperoleh kekuasaan. Surat Perintah 11 Maret itu juga bukan merupakan alat untuk mengadakan
coup secara terselubung. "Supersemar" itu adalah awal perjuangan Orde Baru.

Sisi baik pak Harto


"Memang setelah saya umumkan tentang adanya "Supersemar" itu, dipersoalkan orang,
apakah surat perintah itu hanya satu "instruksi" Presiden kepada saya,
ataukah satu "pemindahan kekuasan eksekutif yang terbatas?"
Menurut saya, perintah itu dikeluarkan di saat negara dalam keadaan gawat
di mana integritas Presiden, ABRI dan rakyat sedang berada dalam bahaya, s
edangkan keamanan, ketertiban dan pemerintahan berada dalam keadaan berantakan.
Seperti saya nyatakan di depan Radio dan TVRI di pertengahan Juni 1966,
saya tidak akan sering menggunakan Surat Perintah 11 Maret tersebut,
lebih-lebih kalau surat perintah itu belum diperlukan.
Mata pedang akan menjadi tumpul bila selalu digunakan.
Sebagai perbandingan saya kemukakan, segerombolan monyet yang menyerang
ladang jagung si Polan dapat diusir hanya dengan tepukan tangan penjaganya.
Oleh karena itu, tidaklah baik memobilisasi satu kompi kendaraan berlapis baja
cuma untuk mengusir segerombolan kera.
Lima tahun kemudian, untuk pertama kalinya saya jelaskan latar belakang dan sejarah
lahirnya "Supersemar" itu, karena rakyat Indonesia memang berhak mengetahuinya.
"Supersemar" merupakan bagian sejarah yang sangat penting untuk meluruskan
kembali perjuangan bangsa dalam mempertahankan cita-cita kemerdekaan
dan memberi isi pada kemerdekaan.
Berkenaan dengan ini, beberapa kali saya telah menolak prakarsa untuk memperingati
hari lahirnya "Supersemar" secara besar-besaran. Ini untuk menghindarkan timbulnya mitos terhadap peristiwa itu atau terhadap diri saya sendiri.
Saya tidak pernah menganggap "Supersemar" itu sebagai tujuan untuk memperoleh kekuasaan. Surat Perintah 11 Maret itu juga bukan merupakan alat untuk mengadakan
coup secara terselubung. "Supersemar" itu adalah awal perjuangan Orde Baru.

Kamis, 29 April 2010

5 menit yang berharga

Suatu ketika kuringgu… kuringgu …. kuringgu!!! (kring …kring …kring..). Suara telepon rumah Muhammad berbunyi nyaring.

Muhammad: Mosi mosi? (Hallo?)

Takahashi: Mosi mosi, Muhammad san imasuka ? (Apakah ada Muhammad?)

Muhammad: Haik, watashi ha Muhammad des. (Iya saya).

Takahashi: Watashi ha isuramu kyo wo benkyou sitai desuga, osiete moraemasenka? (Saya ingin belajar agama Islam, dapatkah Anda mengajarkan kepada saya?)

Muhammad: Hai, mochiron. (ya, sudah tentu.)

Percakapan pendek ini kemudian berlanjut menjadi pertemuan rutin yang dijadwalkan oleh dua manusia ini untuk belajar dan mengajar agama Islam.

Setelah beberapa bulan bersyahadat, Takahashi kian akrab dengan keluarga Muhammad. Dia mulai menghindari makanan haram menurut hukum Islam.

Memilih dengan hati-hati dan baik, mana yang boleh di makan dan mana yang tidak boleh dimakan merupakan kelebihannya. Terkadang tidak sedikit, keluarga Muhammad pun mendapatkan informasi makanan-makanan yang halal dan haram dari Takahashi.

“Pizza wo tabenaide kudasai. cheese ni ra-do wo mazeterukara.. (Jangan makan pizza walau pun itu adalah cheese, karena di dalamnya ada lard, lemak babi)”, nasihatnya di suatu hari. Takahashi mengetahui informasi semacam ini karena memang kebiasaan tidak membeli pizza, atau makanan produk warung di Jepang memang sudah terpelihara sebelumnya di keluarga Muhammad.

Toko kecil makanan halal milik keluarga Muhammad, menjadi tumpuan Takahashi dalam mendapatkan daging halal. Suatu ketika Takahashi ingin makan daging ayam kesukaannya, tapi dia ngeri kalau melihat daging ayam bulat (whole) mentah yang ada di plastik, dan tidak berani untuk memotongnya. Dengan senang hati, Muhammad memotong ayam itu untuk Takahashi. Dia potong bagian pahanya, sayapnya, dan badannya menjadi beberapa bagian.

Setiap pekan, Takahashi terkadang memesan sosis halal untuk lauk, bekal makan siang di kantor. Setiap pagi ibunya selalu menyediakan menu khusus (baca: halal) untuk pergi ke kantor tempat dia bekerja. Sebagai ukuran muallaf Jepang yang dibesarkan di negeri Sakura, luar biasa kehati-hatian Takahashi dalam memilih makanan yang halal dan baik. Terkadang Muhammad harus belajar dari Takahashi tentang keimanan yang dia terapkan dalam kehidupan sehari-harinya.

Pernah dalam suatu percakapan tentang suasana kerja, Takahashi menggambarkan bagaimana terkadang sulitnya menjauhi budaya minuman sake di lingkungan tempat kerjanya. Di Jepang, suasana keakraban hubungan antara atasan dan bawahan atau teman bekerja memang ditunjukkan dengan saling memberikan minuman sake ke gelas masing-masing.

Dalam kondisi hidup ber-Islam yang sulit, Takahashi ternyata terus melakukan dakwah kepada ibunya. Beberapa bulan kemudian akhirnya ibunya pun menjadi muallaf dengan nama Qonita, nama pilihan Takahashi sendiri buat ibu yang dia cintainya. Sampai saat ini, bagaimana dia mendapatkan nama itu, tidak ada seorang pun yang tahu, kecuali Takahashi.

Beberapa bulan berlalu, pertemuan kecil-kecilan berlangsung …terlontar dari mulutnya suatu kalimat.

“Watashi ha kekkon simasu (Saya mau menikah)….”, ujarnya.

Dengan proses yang panjang, akhirnya dia mendapatkan jodohnya, wanita Jepang yang cantik, yang dia Islamkan sebelumnya. Setahun kemudian, suatu hari Takahashi datang ke rumah Muhammad dengan istrinya yang berkerudung, ikut serta juga buah hati mereka yang telah hadir di dunia ini.

Pada suatu hari, iseng-iseng Muhammad bertanya kepada Takahashi, “Apa yang menyebabkan Takahashi lebih tertarik dengan Islam?”

“Sebenarnya saya belajar juga Kristen, Budha dan Todoku (Agama moral) selain Islam,” Takahashi menjelaskan.

“Masih ingat dengan telepon kita dulu? Waktu pertama kali aku telepon ke Muhammad beberapa bulan dulu”, sambungnya.

“Iya ingat sekali”, jawab Muhammad.

“Kita waktu itu membuat perjanjian untuk bertemu di suatu tempat bukan?”, tanya Takahashi.

“Iya benar sekali”, sambung Muhammad lagi sambil mengingat-ingat kejadian saat itu.

“Saya sungguh ingin mantap dengan Islam, karena Muhammad datang 5 menit lebih dulu dari pada waktu yang kita janjikan, dan Muhammad datang terlebih dahulu dari pada aku. Muhammad pun menungguku waktu itu”, jawab Takahashi beruntun.

“Karena itu aku yakin, aku akan bersama dengan orang-orang  yang akan memberikan kebaikan”, sambungnya lagi.

Jawaban Takahashi membuat Muhammad tertegun, Astaghfirullah sudah berapa kali menit-menitku terbuang percuma, gumam Muhammad.

Begitu besar makna waktu 5 menit saat itu untuk sebuah hidayah dari Allah SWT. Subhanallah, 5 menit selalu kita lalui dengan hal yang sama, akan tetapi 5 menit waktu itu sungguh sangat berharga sekali bagi Takahashi.

Bagaimana dengan 5 menit yang terlewat barusan, milik Anda?

5 menit yang berharga

Suatu ketika kuringgu… kuringgu …. kuringgu!!! (kring …kring …kring..). Suara telepon rumah Muhammad berbunyi nyaring.

Muhammad: Mosi mosi? (Hallo?)

Takahashi: Mosi mosi, Muhammad san imasuka ? (Apakah ada Muhammad?)

Muhammad: Haik, watashi ha Muhammad des. (Iya saya).

Takahashi: Watashi ha isuramu kyo wo benkyou sitai desuga, osiete moraemasenka? (Saya ingin belajar agama Islam, dapatkah Anda mengajarkan kepada saya?)

Muhammad: Hai, mochiron. (ya, sudah tentu.)

Percakapan pendek ini kemudian berlanjut menjadi pertemuan rutin yang dijadwalkan oleh dua manusia ini untuk belajar dan mengajar agama Islam.

Setelah beberapa bulan bersyahadat, Takahashi kian akrab dengan keluarga Muhammad. Dia mulai menghindari makanan haram menurut hukum Islam.

Memilih dengan hati-hati dan baik, mana yang boleh di makan dan mana yang tidak boleh dimakan merupakan kelebihannya. Terkadang tidak sedikit, keluarga Muhammad pun mendapatkan informasi makanan-makanan yang halal dan haram dari Takahashi.

“Pizza wo tabenaide kudasai. cheese ni ra-do wo mazeterukara.. (Jangan makan pizza walau pun itu adalah cheese, karena di dalamnya ada lard, lemak babi)”, nasihatnya di suatu hari. Takahashi mengetahui informasi semacam ini karena memang kebiasaan tidak membeli pizza, atau makanan produk warung di Jepang memang sudah terpelihara sebelumnya di keluarga Muhammad.

Toko kecil makanan halal milik keluarga Muhammad, menjadi tumpuan Takahashi dalam mendapatkan daging halal. Suatu ketika Takahashi ingin makan daging ayam kesukaannya, tapi dia ngeri kalau melihat daging ayam bulat (whole) mentah yang ada di plastik, dan tidak berani untuk memotongnya. Dengan senang hati, Muhammad memotong ayam itu untuk Takahashi. Dia potong bagian pahanya, sayapnya, dan badannya menjadi beberapa bagian.

Setiap pekan, Takahashi terkadang memesan sosis halal untuk lauk, bekal makan siang di kantor. Setiap pagi ibunya selalu menyediakan menu khusus (baca: halal) untuk pergi ke kantor tempat dia bekerja. Sebagai ukuran muallaf Jepang yang dibesarkan di negeri Sakura, luar biasa kehati-hatian Takahashi dalam memilih makanan yang halal dan baik. Terkadang Muhammad harus belajar dari Takahashi tentang keimanan yang dia terapkan dalam kehidupan sehari-harinya.

Pernah dalam suatu percakapan tentang suasana kerja, Takahashi menggambarkan bagaimana terkadang sulitnya menjauhi budaya minuman sake di lingkungan tempat kerjanya. Di Jepang, suasana keakraban hubungan antara atasan dan bawahan atau teman bekerja memang ditunjukkan dengan saling memberikan minuman sake ke gelas masing-masing.

Dalam kondisi hidup ber-Islam yang sulit, Takahashi ternyata terus melakukan dakwah kepada ibunya. Beberapa bulan kemudian akhirnya ibunya pun menjadi muallaf dengan nama Qonita, nama pilihan Takahashi sendiri buat ibu yang dia cintainya. Sampai saat ini, bagaimana dia mendapatkan nama itu, tidak ada seorang pun yang tahu, kecuali Takahashi.

Beberapa bulan berlalu, pertemuan kecil-kecilan berlangsung …terlontar dari mulutnya suatu kalimat.

“Watashi ha kekkon simasu (Saya mau menikah)….”, ujarnya.

Dengan proses yang panjang, akhirnya dia mendapatkan jodohnya, wanita Jepang yang cantik, yang dia Islamkan sebelumnya. Setahun kemudian, suatu hari Takahashi datang ke rumah Muhammad dengan istrinya yang berkerudung, ikut serta juga buah hati mereka yang telah hadir di dunia ini.

Pada suatu hari, iseng-iseng Muhammad bertanya kepada Takahashi, “Apa yang menyebabkan Takahashi lebih tertarik dengan Islam?”

“Sebenarnya saya belajar juga Kristen, Budha dan Todoku (Agama moral) selain Islam,” Takahashi menjelaskan.

“Masih ingat dengan telepon kita dulu? Waktu pertama kali aku telepon ke Muhammad beberapa bulan dulu”, sambungnya.

“Iya ingat sekali”, jawab Muhammad.

“Kita waktu itu membuat perjanjian untuk bertemu di suatu tempat bukan?”, tanya Takahashi.

“Iya benar sekali”, sambung Muhammad lagi sambil mengingat-ingat kejadian saat itu.

“Saya sungguh ingin mantap dengan Islam, karena Muhammad datang 5 menit lebih dulu dari pada waktu yang kita janjikan, dan Muhammad datang terlebih dahulu dari pada aku. Muhammad pun menungguku waktu itu”, jawab Takahashi beruntun.

“Karena itu aku yakin, aku akan bersama dengan orang-orang  yang akan memberikan kebaikan”, sambungnya lagi.

Jawaban Takahashi membuat Muhammad tertegun, Astaghfirullah sudah berapa kali menit-menitku terbuang percuma, gumam Muhammad.

Begitu besar makna waktu 5 menit saat itu untuk sebuah hidayah dari Allah SWT. Subhanallah, 5 menit selalu kita lalui dengan hal yang sama, akan tetapi 5 menit waktu itu sungguh sangat berharga sekali bagi Takahashi.

Bagaimana dengan 5 menit yang terlewat barusan, milik Anda?